Selasa, 16 Februari 2010

kitab muamalah dan kitab ibadah

Kitab muamalah
KITAB JUAL BELI
Jual Beli yang Terlarang
Bab Barang yang Tidak Boleh Diperjualbelikan
Bab Khiyar
Bab Riba
Bab Muzara’ah
Bab Musaaqat
Bab Menghidupkan Tanah Tak Bertuan
Bab Ijarah (Upah)
Bab Syirkah
Bab Mudharabah
Bab Salam
Bab Qiradh (Pinjam Meminjam)
Bab Rahn (Gadai)
Bab Hiwalah
Bab Wadi’ah (Titipan)
Bab ‘Ariyah (Pinjaman)
Bab Luqathah (Barang Temuan)
Bab Laqith (Bayi/Anak Kecil yang Ditemukan)
Bab Hibah
Bab ‘Umra dan Ruqba
Bab Ghashab
Bab Syuf’ah
Bab Wakalah (Pelimpahan Hak)
KITAB SUMPAH DAN NAZAR
Bab Aiman (Sumpah)
Bab Nudzur
KITAB MAKANAN
Kitab Al-Ath’imah (Makanan)
Makanan yang Haram
Bab Penyembelihan secara Syar’i Bab Berburu
Bab Udhhiyah (Kurban) Bab Aqiqah
KITABWASIAT
Kitab Al-Washaya (Wasiat)
KITAB WARISAN
Kitab Al-Faraidh (Warisan)
Bab ‘Ashabah
Bab Hajb dan Hirman
KITAB HUDUD
Kitab Al-Hudud
Bab Hukuman Zina
Bab Qadzf Bab Li’an
Bab Hukuman Had bagi Pemabuk
Bab Hukuman Had Bagi Pemberontak
KITAB PIDANA
Kitab Al- Jinayat (Pidana)
Bab Diat
KITAB JIHAD
Kitab Al-Jihad
KITAB MEMERDEKAKAN BUDAK
Kitab Al-’Itqi (Memerdekakan Budak)
Bab Kitabah






Kitab Ibadah
KITAB SHOLAT
Bab Shalat Khauf
Bab Shalat Hari Raya
Bab Shalat Jum’at
Bab Shalat Musafir
Bab Shalat Jama’ah
Bab Shalat Tathawwu’ (Shalat Sunnah)
Bab Sifat Shalat
Bab Adzan Kitab Shalat
KITAB THOHAROH
Bab Haidh dan Nifas
Bab Tayammum
Bab Mandi Besar
Bab Mengusap di Atas Khuf
Bab Wudhu’
Bab Bejana
Bab Adab Buang Hajat/Buang Air
Bab Sunnah yang Fitrah
Bab Cara Membersihkan Najis
Bab Benda-Benda yang Najis Bab Air
KITAB SYIAM/PUASA
Bab I’tikaf Hari-Hari Yang Dilarang Berpuasa
Hal-Hal yang Dibolehkan Bagi Orang Yang Berpuasa
Puasa Tathawwu’
Adab-Adab Berpuasa
Rukun Shiyam
Orang Yang Wajib Melaksanakan Shiyam
Cara Menetapkan Awal Bulan Ramadhan
Hukum, Keutamaan, Dan Kewajiban Shiyam
KITAB HAJI DAN UMROH
Bab Ziarah Ke Kota Madinah
Bab Umrah
Beberapa Macam Dam Dalam Ibadah Haji
Balasan Bagi Orang Yang Membunuh Binatang Buruan
Larangan-Larangan Yang Berlaku di Haramain, Mekkah Dan Madinah Hal-Hal Yang Membatalkan Ibadah Haji
Larangan-Larangan Dalam Ihram
Syarat Thawaf dan Sa’i
Rukun-Rukun Haji
Kewajiban-Kewajiban Ibadah Haji
Sunnah-Sunnah Ibadah Haji (5)
Sunnah-Sunnah Ibadah Haji (4)
Sunnah-Sunnah Ibadah Haji (3)
Sunnah-Sunnah Ibadah Haji (2)
Sunnah-Sunnah Ibadah Haji (1)
Bab Shifat (Tata Cara) Haji Nabi
Miqat-Miqat
Hajinya Anak Kecil Dan Hamba Sahaya
Hukum Ibadah Haji
Keutamaan Haji dan Umrah
KITAB QURBAN DAN AQIQAH
Aqiqah
Kurban
KITAB NIKAH
Bab Iddah
Bab Khulu’
Bab Talak
Bab Zhihar
Bab Ilaa’
Hukum Suami Yang Mengharamkan Isterinya Atau Budak Perempuan Kiat Menangani Perpecahan Suami Isteri yang Kian Parah
Penerapan Nusyuz Dari Pihak Suami
Penerapan Nusyuz Dari Pihak Isteri
Problematika Rumah Tangga
Hak-Hak Suami yang Wajib Ditunaikan oleh Isteri
Hak-Hak Isteri Yang Harus Ditunaikan Suami
Hak-Hak Suami Isteri
Menikah Seorang Wanita Dengan Niat Sang Suami Untuk Menceraikan Isterinya
Beberapa Perkawinan Yang Bathil
Beberapa Perempuan Yang Haram Dinikahi
Batas Maksimal Poligami
Kewajiban Mengadakan Walimah
Waktu Yang Dianjurkan Memulai Bercampur Dengan Isteri
Mahar
Khutbah Nikah
Wajib Minta Izin Kepada Sang Gadis Sebelum Dinikahi
Akad Nikah
Khithbah (Meminang)
Melihat Gadis Yang Akan Dilamar
Calon Isteri dan Suami Ideal

ktb.jbli.bab.wakalah

1. PENGERTIAN WAKALAH
Kata wakalah huruf wawu diharakati fathah dan kadang-kadang dikasrah, menurut bahasa adalah penyerahan dan penjagaan. Misalnya, wakkaltu fulaanan (saya mengangkat si fulan sebagai penjaga), dan wakkaltu amra ilaihi (saya menyerahkan urusan kepadanya).
Adapun menurut istilah syar’i ialah seseorang mengangkat orang lain sebagai pengganti dirinya, secara mutlak ataupun secara terikat.
2. DISYARI’ATKAN WAKALAH
Wakalah disyari’atkan berdasar Kitabullah, sunnah Rasulullah saw, dan ijma’ umat Islam:
“Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka, “Sudah berapa lamakah kamu berada (di sini?)” Mereka menjawab, “Kami berada (di sini) sehari atau setengah hari.” Berkata (yang lain lagi). “Rabb kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah dia membawa makan itu untukmu, dan hendaklah dia berlaku lemah lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seseorang pun.” (QS Al-Kahfi: 19).
Dari Abu Rafi’ ra, ia berkata, “Rasulullah saw mengawini Maimunah dalam keadaan halal dan menggaulinya dalam keadaan halal (yaitu sebelum masuk kawasan miqat), dan saya penghubung antara keduanya.” (Shahihul Isnad: Irwa-ul Ghalil VI: 252, Darimi II: 38, Ahmad VI: 392-393).
Abu Rafi’ juga diserahi tugas melunasi hutang-hutang dan melaksanakan hukum had, sebagaimana Beliau saw bersabda:
“Pergilah, ya Unais, menemui isteri orang ini! Lalu apabila wanita itu mengakuinya, maka rajamlah ia.” (Hadits ini akan ditampilkan lagi pada pembahasan hudud).
Kaum muslimin sepakat membolehkan wakalah, bagian mereka menganjurkannya karena hal ini termasuk bagian dari ta’awun (tolong menolong) dalam kebaikan dan takwa, karena tidak semua orang mampu menangani sendiri seluruh urusannya, sehingga memerlukan wakil yang berfungsi sebagai pengganti dirinya untuk melaksanakan suatu tugas.
3. HAL-HAL YANG BOLEH DIWAKILKAN
Segala sesuatu yang boleh diurusi sendiri, boleh juga diwakilkan kepada orang lain, atau boleh juga menjadi wakil orang lain.
4. WAKIL ADALAH KEPERCAYAAN
Wakil adalah orang yang mendapat kepercayaan mengurusi apa yang dipegangnya atau apa yang ditanganinya; ia tidak harus menanggung resiko kecuali karena kelalaiannya. Rasulullah saw bersabda:
“Tidak ada tanggungan atas orang yang mendapat amanah.” (Hasan; Shahihul Jami’us Shaghir no: 7518).

ktb.jbli.bab SYUF’AH

1. PENGERTIAN SYUF’AH
Kata syuf’ah, huruf syiin diharakati dhammah dan huruf fa’ diberi harakat sukun, adalah berasal dari akar kata syaf’u berarti zauj (sepasang atau sejodoh).
Menurut istilah syara’, syuf’ah ialah memindahkan hak kepada rekan sekongsi dengan mendapat ganti yang jelas.
2. LAHAN SYUF’AH
Dari Jabir bin Abdullah ra ia berkata, “Nabi saw pernah memutuskan syuf’ah (pemindahan hak) itu adalah dalam semua hal yang tidak dapat dibagi. Karena itu, kalau terjadi pembatasan dan diketahuinya dengan jelas tentang pengeluaran, maka tidak ada syuf’ah.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 2028, Fathul Bari IV: 436 no: 2257 dan lafadz ini milik Imam Bukhari, ’Aunul Ma’bud IX: 425 no: 3497, Ibnu Majah II: 835 no: 2499 dan Tirmidzi II: 413 no: 1382 tanpa kalimat terakhir).
Barangsiapa yang mempunyai kawan sekongsi dalam hal tanah, atau rumah, atau kebun dan semisalnya, maka ia tidak boleh menjualnya sebelum ia tawarkan kepada rekan sekongsinya. Jika ternyata ia telah menjualnya sebelum ditawarkan kepada kawannya, maka sang kawan sekongsi itu tetap lebih berhak membelinya:
Dari Jabir ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa mempunyai (kebun) kurma, atau sebidang tanah, maka ia tidak boleh menjualnya sebelum menawarkannya kepada rekan sekongsinya.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 2021 dan Ibnu Majah II: 833 no: 2492 dan Nasa’i VII: 319).
Dari Abu Rafi’ ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Kawan sekongsi itu lebih berhak atas apa yang dekat dengan dia.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 2027 dan Ibnu Majah II: 834 no: 2498).
3. HAK SYUF’AH MILIK TETANGGA, BILA ANTARA KEDUANYA ADA HAK SEKONGSI
Manakala di antara dua orang bertetangga ada hak milik bersama, misalnya berupa jalan, ataupun air, maka bagi masing-masing memiliki hak syuf’ah yang harus ditunaikan rekan sekongsi. Jadi, seorang di antara keduanya tidak boleh menjual hak milik bersama sebelum mendapat izin dari tetangganya; jika ia terlanjur menjualnya tanpa izin sang tetangga, maka tetangga tersebut tetap lebih berhak membeli barang yang dijual itu:
Dari Jabir ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Tetangga itu lebih berhak mendapatkan hak syuf’ah tetangganya. Jika ia sedang bepergian, harus ditunggu untuk menerima syuf’ah, bila jalan keduanya satu.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 2023, ’Aunul Ma’bud IX: 429 no: 3501, Tirmidzi II: 412 no: 1381 dan Ibnu Majah II: 833 no: 2494).
Dari Abu Rafi’ bahwa Nabi saw bersabda, “Tetangga itu lebih berhak atas apa yang dekat dengan dia.” (Hasan Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 2024, Fathul Bari IV: 437 no: 2258, ‘Aunul Ma’bud IX: 428 no: 3499, Nasa’i VII: 320 dan Ibnu Majah II: 833 no: 2495).

ktb.jbli.bab GHASHAB

1. PENGERTIAN GHASHAB
Ghashab ialah mengambil hak orang lain dengan cara yang tidak benar.
2. HUKUM GHASHAB
Ghashab, merampas hak orang lain adalah perbuatan zhalim, sedangkan perbuatan zhalim termasuk kegelapan-kegelapan pada hari kiamat.
Allah swt berfirman:
“Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zhalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak. Mereka datang bergegas-gegas memenuhi panggilan dengan mengangkat kepalanya, sedangkan mata mereka tidak berkedip-kedip dan hati mereka kosong.” (QS Ibrahim: 42-43).
Firman-Nya lagi:
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil.” (QS al-Baqarah: 188).
Dalam khuthbah (haji) wada’, Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya darahmu, harta bendamu, dan kehormatanmu adalah haram atasmu, seperti haramnya pada harimu ini pada bulanmu ini, (dan) di negerimu ini.” (Shahihul Jami’us Shaghir no: 2068).
Dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi saw bersabda, “Pezina tidak akan berzina manakala ia beriman ketika berzina, tidak akan minum khamer manakala ia beriman ketika meneguknya, tidak akan mencuri manakala ia beriman ketika mencuri, dan tidak akan melakukan satu perampasan yang membuat mata orang-orang terbelalak ketika melihatnya manakala ia beriman ketika melakukannya.” (Muttafaqun’ alaih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 7707).
3. HARAM MEMANFAATKAN BARANG RAMPASAN
Perampas diharamkan menggunakan harta rampasan, dan ia wajib mengembalikannya kepada pemiliknya:
Dari Abdullah bin as-Sa-ib bin Yazid dari bapaknya dari datuknya bahwa ia pernah mendengar Rasulullah saw bersabda, “Seorang di antara kamu tidak boleh mengambil perbekalan saudaranya, baik main-main maupun serius; dan barangsiapa yang mengambil tongkat saudaranya, maka kembalikanlah ia!” (Hasan: Shahihul Jami’us Shaghir no: 7578, ’Aunul Ma’bud XIII: 346 no: 4982 dan lafadz ini bagi Imam Abu Daud, Tirmidzi III: 313 no: 2249 dengan lafadz: (seorang di antara kamu tidak boleh sekali-kali mengambil tongkat saudaranya).
Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa yang pernah menganiaya saudaranya mengenai kehormatannya atau sesuatu yang lain, maka hendaklah pada hari ini ia menebus dirinya dari perbuatan tersebut sebelum uang Dinar dan Dirham tak berlaku. Jika ia memiliki amal shalih, maka diambillah kebaikannya sepadan dengan kadar kezhalimannya; jika ia tidak mempunyai banyak kebaikan, maka keburukan rekannya (yang dianiaya), lalu dibebankan kepadanya.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 6511, Fathul Bari V: 101 no: 2449 dan Tirmidzi IV: 36 no: 2534 semakna).
4. ORANG YANG TERBUNUH DEMI MEMBELA HARTANYA ADALAH SYAHID
Boleh seseorang membela dirinya dan hartanya, bila ada orang lain hendak membunuhnya atau merampok harta miliknya:
Dari Abu Hurairah ra, ia bercerita: Telah datang seorang laki-laki kepada Nabi saw, lalu bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana pendapatmu, jika ada seorang tak dikenal hendak merampas hartaku?” Maka jawab Beliau, “Yaitu janganlah engkau serahkan hartamu itu kepadanya.” Ia bertanya (lagi), “Bagaimana pendapatmu, kalau ia hendak membunuhku?” Sabda Beliau, “Bunuhlah ia lebih dahulu!” Ia bertanya (lagi), “Bagaimana jika ia lebih dahulu membunuhku?” Jawab Beliau, “Maka engkau gugur sebagai syahid.” Ia bertanya (lagi), “Bagaimana pendapatmu, jika aku yang lebih dahulu membunuhnya?” Sabda Beliau, “Dia di neraka.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 1086, Muslim I: 124 no: 140, Nasa’i VII: 114).
5. MERAMPAS TANAH
Dari Sa’id bin Zaid ra, ia berkata, “Saya pernah mendengar Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa mengambil (sejengkal) tanah dengan cara yang zhalim, niscaya (pada hari kiamat) ia akan dikalungi tujuh tanah.” (Muttafaqun’alaih: Fathul Bari V: 103 no: 2452 dan Muslim III: 1230 no: 1620).
Dari Salim dari bapaknya ra bahwa Nabi saw bersabda, “Barangsiapa mengambil sejengkal tanah yang bukan haknya, maka nanti di hari kiamat dia akan dibenam Allah sampai tujuh tanah.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 6385 dan Fathul Bari V: 103 no: 2454).
Dan, barangsiapa yang merampas sebidang tanah orang lain, lalu menanam tanaman atau membangun rumah padanya, maka tanamannya harus dicabut dan bangunannya harus dirobohkan. Hal ini mengacu pada sabda Nabi saw:
“Keringat orang yang zhalim tidak mempunyai hak apa-apa.” (Shahih: Shahih Tirmidzi no: 1113, Tirmidzi II: 419 no: 1394 dan Baihaqi VI: 142).
Jika terlanjur perampas tanah itu menanam tanaman di tanah rampasan itu, maka ia berhak mendapat ganti biayanya, sedangkan tanaman tersebut menjadi hak milik sang pemilik tanah:
Dari Rafi’ bin Khadij ra, bahwa Nabi saw bersabda, “Barangsiapa menanam (suatu tanaman) di tanah milik suatu kaum tanpa seizin mereka, maka dia tidak mempunyai hak atas tanamannya itu, tetapi dia (hanya berhak) atas biaya (yang telah dikeluarkan).” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 6272, Tirmidzi II: 410 no: 1378 dan Ibnu Majah II: 824 no: 2466)

ktb.jbli.bab ‘UMRA DAN RUQBA

1. PENGERTIAN ‘UMRA DAN RUQBA
Kedua hal ini termasuk hibah (pemberian) yang berlaku sementara waktu, tidak menjadi hak milik selama-lamanya.
Kata ‘umra, Huruf ’ain diharakati dhammah dan mim disukunkan dan huruf ra’ disambung dengan alif maqshurah, terambil dari kata al-‘Umr. Sedangkan ruqba sepatron dengan umra terambil dari kata al-muraaqabah. Mereka, banga Arab biasa mengerjakan hal ini pada masa jahiliyah, yaitu seorang memberi rumah kepada orang lain dengan pernyataan, “Saya halalkan rumah ini untukmu selama hayatmu di kandung badan oleh sebab itu dinamakan Umra.” Demikian pula yang dikatakan pada ruqba, karena masing-masing orang yang melakukan umra dan ruqba sama-sama menunggu kapan ajal orang yang diberi rumah tiba agar rumah yang dimaksud kembali lagi kepadanya.
2. STATUS DAN KEDUDUKAN UMRA DAN RUQBA
Nabi saw menganggap penentuan jangka waktu ini adalah sesuatu yang tidak terpakai, dan Beliau memutuskan bahwa masing-masing dari umra dan ruqba menjadi hak milik penuh si penerima dan menjadi harta warisan bagi ahli warisnya, tidak bisa kembali lagi kepada pihak pemberi hibah:
Dari Jabir bin Abdullah bahwa Rasulullah saw bersabda, “Umra itu boleh (halal) bagi orang yang diberi umra dan Ruqba (juga) boleh (halal) bagi orang yang diberi ruqba.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 1930, Ibnu Majah II: 797 no: 2383, Tirmidzi II: 403 no: 1362, ‘Aunul Ma’bud IX: 472 no: 3541 dan Nasa’i VI: 270).
Darinya (Jabir bin Abdullah) ra, ia berkata: Saya pernah mendengar Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa memberi umra kepada orang lain untuknya dan untuk keturunannya, maka sesungguhnya pernyataannya itu telah memutuskan haknya terhadap umra tersebut. Maka umra itu adalah milik pihak yang diberi umra dan keturunannya.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 1927, Muslim III: 1245 no: 21/1625 dan Ibnu Majah II: 796 no: 2380).
Darinya (Jabir bin Abdullah) ra, bahwa Nabi saw bersabda, “Jagalah hartamu buat kamu, dan janganlah kamu merusaknya, karena sesungguhnya orang memberi umra, maka umra itu adalah milik pihak yang diberi umra selagi hidupnya dan sesudah matinya, dan milik keturunannya.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 1388 dan Muslim II: 1246 no: 26 dan 1625).

ktb.jbli.bab hibah

1. PENGERTIAN HIBAH
Hibah, huruf haa’ dikasrah dan baa’ difathah, adalah pemberian seseorang akan hartanya kepada orang lain di masa hidupnya dengan cuma-cuma, tanpa imbalan.
2. DORONGAN MELAKUKAN HIBAH
Dari Abu Hurairah ra, dari Nabi saw, Beliau bersabda, “Wahai para wanita muslim, janganlah sekali-kali seorang tetangga perempuan merasa hina memberikan kepada tetangganya yang perempuan, walaupun sekedar ujung kuku kambing.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari V: 197 no: 2566 dan Muslim II: 714 no: 1030).
Juga darinya (Abu Hurairah ra), bahwa Nabi saw bersabda, “Saling memberi hadiahlah di antara kalian, niscaya kalian akan saling mencintai.” (Hasan: Shahibul Jami’us Shaghir no: 3004 dan Irwa-ul Ghalil 1601, Baihaqi VI: 169).
3. MENERIMA HIBAH (PEMBERIAN) YANG SEDIKIT
Dari Abu Hurairah ra dari Nabi saw, Beliau bersabda, “Kalau aku diundang untuk menghadiri jamuan satu lengan (kambing), niscaya kuterima.” (Shahih: Shahihul Jami’ no: 5268 dan Fathul Bari V: 199 no: 2568).
4. HADIAH YANG TIDAK BOLEH DITOLAK
Dari ‘Azrah bin Tsabit al-Anshari, ia berkata, ”Saya pernah datang menemui Tsumamah bin Abdullah, lalu ia memberi minyak wangi kepadaku. Ia berkata, “Adalah Anas ra tidak pernah menolak (hadiah) minyak wangi dan dari Anas bahwa Nabi saw tidak pernah menolak (hadiah) minyak wangi.” (Shahih: Shahihul Tirmidzi no: 2240, Fathul Bari V: 209 no: 2582 dan Tirmidzi IV: 195 no: 2941).
Dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Ada tiga hal yang pemberiannya tidak boleh ditolak: (pertama) sandaran (bantal), (kedua) minyak wangi, dan (ketiga) susu.” (Hasan: Shahih Tirmidzi no: 2241, dan Tirmidzi IV: 199 no: 2942).
5. MEMBALAS HIBAH
Dari Aisyah ra, ia berkata, “Rasulullah saw menerima hadiah dan biasa membalasnya.” (Shahih: Fathul Bari V: 210 no: 2585, ’Aunul Ma’bud IX: 451 no: 3519 dan Tirmidzi III: 227 no: 2019).
6. ORANG YANG PALING UTAMA MENERIMA HADIAH
Dari Aisyah ra, ia berkata: Saya pernah bertanya, “Ya Rasulullah, sesungguhnya saya mempunyai dua tetangga, lalu yang manakah yang kuberikan hadiah?” Jawab Beliau, “Yang pintunya lebih dekat kepadamu di antara mereka berdua.” (Shahih: Fathul Bari V: 219 no: 2595 dan ’Aunul Ma’bud XIV: 63 no: 5133).
Dari Kuraib, mantan budak Ibnu Abbas, bahwa Maimunah binti al-Harits menginformasikan kepadanya bahwa ia (Maimunah) pernah memerdekakan seorang budak perempuan yang dihamili tuannya tanpa seizin Nabi saw. Kemudian tatkala tiba hari yang menjadi gilirannya (Maimunah bin al-Harits) maka ia berkata, ”Ya Rasulullah, tidaklah engkau tahu bahwa saya telah memerdekakan budak perempuanku.” Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya kalau engkau berikan ia kepada paman-pamanmu, niscaya pahalamu lebih besar.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari V: 217 no: 2592, Muslim II: 694 no: 999, ‘Aunul Ma’bud V: 109 no: 1674).
7. PENGHARAMAN SIKAP MENGUTAMAKAN SEBAGIAN ANAK DALAM HAL HIBAH
Dari Nu’man bin Basyir ia berkata: Ayahku pernah menshadaqahkan sebagian hartanya kepadaku. Kemudian Ibuku, ’Amrah binti Rawahah ra menyatakan, ”Aku tidak ridha (terhadap shadaqah ini) hingga engkau mempersaksikan kepada Rasulullah saw.” Kemudian ayahku berangkat menemui Rasulullah saw untuk mempersaksikan shadaqah yang kuterima ini kepadanya. Maka, Rasulullah bertanya kepada ayahku: “Apakah engkau lakukan hal ini terhadap seluruh anakmu?” Jawabnya, “Tidak.” Maka Rasulullah bersabda, “Bertakwalah kepada Allah dan bersikap adillah terhadap anak-anakmu.” Kemudian ayahku kembali (pulang), lalu dia membatalkan shadaqah itu. Dalam riwayat yang lain, Rasulullah bersabda, “Maka kalau begitu janganlah engkau menjadikan diriku sebagai saksi; karena sesungguhnya aku tidak mau menjadi saksi atas perbuatan yang sewenang-wenang.” Dalam riwayat yang lain (lagi) disebutkan bahwa Beliau bertanya, “Apakah kamu merasa senang apabila mereka (anak-anakmu) itu sama-sama bakti kepadamu?” Dijawab, “Ya, tentu.” Maka Rasulullah bersabda, “Maka kalau begitu, janganlah (kamu bersikap pilih kasih).” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari V: 211 no: 2587, Muslim III: 1241 1623, ’Aunul Ma’bud IX: 457 no: 3525).
8. TIDAK HALAL SESEORANG MENGAMBIL KEMBALI PEMBERIANNYA DAN TIDAK PULA MEMBELINYA
Dari Ibnu Abbas ra bahwa Nabi saw bersabda, “Bagi kita tidak ada perumpamaan yang lebih buruk (lagi) daripada orang yang mengambil kembali pemberiannya, seperti anjing yang menelan kembali muntahnya.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari V: 234 no: 2622 dan ini lafadz bagi Imam Bukhari, Muslim III: 1240 no: 1622, ’Aunul Ma’bud IX: 454 no: 3521, Tirmidzi II: 383 no: 1316 dan Nasa’i VI: 265).
Dari Zaid bin Aslam dari bapaknya, ia bercerita: Saya pernah mendengar Umar bin Khattab ra berkata, “Saya pernah membelikan (seseorang) perbekalan untuk jihad di jalan Allah yang diletakkan di atas punggung kuda, lalu perbekalan tersebut dihilangkan kemudian saya bermaksud hendak membelinya darinya, dan saya menduga ia akan menjualnya dengan harga murah. Kemudian kutanyakan hal itu kepada Nabi saw, maka Rasulullah menjawab, “Janganlah engkau beli barang itu, walaupun ia memberi kepadamu dengan (harga) satu dirham, maka sesungguhnya orang yang menarik kembali shadaqahnya laksana anjing menelan muntahnya.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari III: 353 no: 1490, Muslim III: 1239 no: 1620, Nasa’i V: 108, Tirmidzi meriwayatkan secara ringkas II: 89 no: 663 dan ’Aunul Ma’bud IV: 483 no: 1578).
Pengecualian dari ketentuan di atas adalah pemberian seorang ayah yang memberi kepada anaknya.
Dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas ra, keduanya mengatakan hadits ini dari Nabi saw, Beliau bersabda, “Tidak halal bagi seorang laki-laki yang memberi sesuatu kemudian memintanya kembali, melainkan seorang ayah menarik kembali pemberian yang ia berikan kepada anaknya.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 7655, ’Aunul Ma’bud IX: 455 no: 3522, Tirmidzi II: 383 no: 1316, Nasa’i VI: 265 dan Ibnu Majah II: 795 no: 2377).
Jika pihak diberi hadiah mengembalikannya, maka tidak mengapa pihak pemberi hadiah mengambilnya kembali. Dari Aisyah ra, bahwa Nabi saw pernah shalat pada sehelai kain yang bergaris-garis, lalu sekejap Beliau melihat pada garis-garisnya. Tatkala usai shalat, Beliau bersabda, “Bawalah kain ini kepada Abi Jahm dan datangkanlah untukku kain tebal yang polos dari Abi Jahm; karena sesungguhnya ia tadi (sempat) membuatku lalai dari shalatku.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari I: 482 no: 373, Muslim I: 391 no: 556, ’Aunul Ma’bud III: 182 no: 901 dan Nasa’i II: 72).
Dari Sha’b bin Jatsamah al-Laitsi -ia adalah salah seorang sahabat Nabi saw-, bahwa ia pernah memberi hadiah kepada Rasulullah saw berupa keledai liar di daerah Abwaa’ -atau di Waddan-. Kala itu Beliau sedang berihram, lalu Beliau menolaknya. Sha’b berkata, “Ketika Beliau melihat (rasa kesal) di wajahku karena Beliau mengembalikan hadiahku kepadaku,” maka Beliau bersabda, “Kami benar-benar tidak layak menolak hadiahmu, namun kami dalam keadaan berihram.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IV: 31 no: 1825, Muslim II: 850 no: 1193, Tirmidzi II: 170 no: 851, Ibnu Majah II: 1032 no: 3090 dan Nasa’i V: 183).
9. ORANG YANG BERSHADAQAH KEMUDIAN MEWARISINYA
Dari Abdullah bin Buraidah dari bapaknya ra, katanya: Telah datang seorang perempuan kepada Nabi saw, lalu bertutur; “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku telah menshadaqahkan budak perempuanku kepada ibuku, namun (sekarang) dia telah meninggal dunia.” Jawab Beliau, “Mudah-mudahan Allah memberimu pahala, dan ia menjadi harta warisan bagimu.” (Shahih: Shahih Tirmidzi no: 535, Muslim II: 805 no: 1149, Tirmidzi II: 89 no: 662 dan ‘Aunul Ma’bud VIII: 79 no: 2860).
10. APARAT PEMERINTAH YANG MENERIMA HADIAH ADALAH GHULUL (PENGKHIANAT)
Dari Abi Humaid as-Saidi ra ia bercerita: Nabi saw pernah mempekerjakan seorang sahabat dari (Bani) al-Azd, bernama Ibnul Utabiyah untuk memungut zakat. Tatkala ia kembali (kepada Rasulullah saw), ia berkata, “Ini untukmu dan ini hadiah yang dihadiahkan orang kepadaku.” Kemudian Nabi saw segera naik mimbar, lalu memuji Allah dan menyanjung-Nya, kemudian bersabda, “Pantaskah seorang amil zakat yang kami kirim (untuk menarik zakat), lalu datang (kepadaku) lantas berkata, ’Ini untukmu dan ini untukku.’ Mengapa ia tidak duduk-duduk di rumah bapaknya dan ibunya, lalu ia memperhatikan, adakah orang yang memberi hadiah kepada dirinya ataukah tidak ada? Demi Dzat yang diriku berada dalam kekuasaan-Nya, ia tidak akan datang dengan membawa hasil pemberian ilegal itu, melainkan ia akan datang pada hari kiamat dengan memikul barang itu di lehernya. Jika ia berupa unta, maka unta itu melenguh; jika ia berupa sapi betina, maka sapi tersebut menguak; jika ia berupa kambing, maka ia mengembek.” Kemudian beliau mengangkat tangannya hingga kami melihat bulu ketiaknya, lalu Beliau bersabda (lagi), “Ingatlah, aku telah menyampaikan, tiga kali.” (Muttafaqun’alaih: Fathul Bari XIII: 164 no: 7174, Muslim III: 1463 no: 1832 dan ’Aunul Ma’bud VIII: 162 no: 2930).

ktb.jbli.bab laqith

1. PENGERTIAN LAQITH
Laqith adalah anak kecil yang belum baligh yang didapati di jalan, atau yang tersesat di jalan, atau yang tidak diketahui nasabnya.
2. HUKUM MENEMUKAN LAQITH
Memungut laqith hukumnya adalah fardhu kifayah, berdasar firman Allah swt:
“Dan bertolong-tolonglah kamu dalam kebajikan dan ketakwaan.” (QS al-Maidah: 2)
3. KEISLAMAN DAN KEMERDEKAAN LAQITH SERTA BIAYA HIDUPNYA
Apabila Laqith ditemukan di negeri Islam, maka dianggap sebagai orang muslim, dan dihukumi sebagai orang yang merdeka di mana pun ia ditemukan, karena pada asalnya anak cucu Adam adalah merdeka. Jika ia disertai dengan harta, maka biaya hidupnya diambilkan darinya. Jika tidak, maka biaya penghidupannya diambil dari baitul mal (kas negara):
Dari Sunain Abi Jamilah, seorang laki-laki dari Bani Sulaim berkata: Saya pernah mendapatkan anak kecil tersesat lalu saya bawa Umar bin Khatthab. Kemudian Uraifi berkata, ”Ya Amirul Mukminin, sesungguhnya ia adalah seorang laki-laki yang shalih.” Lantas Umar bertanya, ”Apakah ia memang begitu?” Jawab Uraifi, ”Ia betul.” Kemudian Umar berkata, ”(Wahai Salim), bawalah ia pergi, dan ia sebagai orang merdeka, dan ia harus berwali kepadamu, sedangkan biaya hidupnya tanggungan kami.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1573, Muwathta’ Imam Malik hal. 524 no: 1415 dan Baihaqi VI: 201).
4. PIHAK YANG BERHAK MENJADI AHLI WARIS LAQITH
Apabila laqith meninggal dunia dan ia meninggalkan harta warisan, namun tidak meninggalkan ahli waris, maka harta warisannya menjadi hak milik baitul mal, demikian pula diyatnya bila ia dibunuh.
5. PENGAKUAN SENASAB DENGAN LAQITH
Barangsiapa, baik laki-laki maupun perempuan, mengaku punya hubungan nasab (keturunan) dengan laqith, maka harus dihubungkan dengannya, selama hubungan nasab itu memungkinkan. Jika yang mengaku punya hubungan nasab dengannya dua orang atau lebih, maka seharusnya dihubungkan dengan orang yang membawa bukti bahwa dirinya memiliki hubungan nasab dengan si laqith. Jika tidak mempunyai bukti yang kuat, maka dipaparkan kepada orang yang ahli mengenali nasab-nasab dengan adanya kemiripan. Kemudian dihubungkan dengan orang yang menurut ahli penyelidik nasab bahwa anak kecil tersebut sebagai anaknya.
Dari Aisyah ra, katanya: Nabi saw pernah masuk (ke rumah) menemuiku dalam keadaan riang gembira, lalu bersabda, “Tidaklah engkau tahu bahwa Mujazar al-Madlaji tadi melihat Zaid dan Usamah, dan keduanya telah menutup kepalanya sementara kaki mereka terbuka.” Lalu ia berkata, “Sesungguhnya empat kaki ini, sebagiannya berasal dari sebagian yang lainnya (memiliki kemiripan dengan sebagian yang lain).” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari XII: 56 no: 6771, Muslim II: 1081 no: 1459, ‘Aunul Ma’bud VI: 357 no: 2250, Tirmidzi III: 293 no: 2212 dan Nasa’i VI: 184).
Jika ternyata ahli penyelidik nasab berpendapat, bahwa laqith tersebut adalah memiliki hubungan nasab dengan kedua orang yang mengaku mempunyai hubungan nasab dengannya, maka harus dihubungkan dengan keduanya:
Dari Sulaiman bin Yasar, dari Umar tentang seorang perempuan yang digauli oleh dua orang laki-laki ketika dalam keadaan suci, maka sang ahli penyelidik nasab berkata, “Dalam hal anak kecil ini kedua laki-laki itu bersekutu.” Kemudian Umar menjadikan (nasabnya) di antara mereka berdua. (Shahih: Irwa-ul Ghalil 1578 dan Baihaqi X: 263).
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 712 - 715.